Pada “PINTAR Voices”, kami mengajukan pertanyaan kepada ahli AMR internasional tentang pekerjaan mereka, sektor swasta, informasi seputar kebijakan dan pandemi COVID-19.
Narasumber pertama kami adalah Dr Harry Parathon, Kepala Divisi Uroginekologi dan Rekonstruksi di Universitas Airlangga di Surabaya, Indonesia dan Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

1. Bagaimana Anda dan pekerjaan Anda saat ini berkontribusi dalam melindungi Indonesia dari ancaman resistensi antibiotik?
Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan RI memiliki data AMR yang diperoleh dari survei tahun 2013 dan 2016. Data tersebut menggunakan indikator Extended Spectrum Betalactamase (ESBL) memproduksi E. coli dan K. pneumonia yang secara berurutan prevalensinya adalah 40 % (26,7% – = 56,8%) dan 60% (50% -82%). Hampir 80% dokter meresepkan antibiotik secara tidak tepat (survei KPRA Depkes di 6 rumah sakit pendidikan pada tahun 2016).
KPRA telah menyusun Peraturan Menteri untuk mengimplementasikan program AMR di lingkungan rumah sakit dengan panduan yang menyertai untuk memperkuat kesadaran dan pemahaman tentang AMR serta masalah yang terkait antara penyedia di tingkat rumah sakit. Workshop (lokakarya) AMR yang didanai oleh Kementerian Kesehatan ini diadakan untuk sedikitnya 4 dokter dari masing-masing 140 rumah sakit. Kerja sama dengan Komite Akreditasi Rumah Sakit juga dilakukan dengan membentuk 10 poin penilaian untuk digunakan dalam audit rumah sakit dalam implementasi program AMR.
2. Apa pendapat Anda tentang peran sektor swasta dalam meningkatkan penggunaan antibiotik yang tepat?
Kebanyakan dokter di sektor swasta diketahui berkontribusi pada tingginya penggunaan antibiotik. KPRA sudah menyusun peraturan pengganti SK Menteri sebelumnya, yang akan digunakan untuk program AMR di semua fasilitas kesehatan termasuk di sektor swasta. Kami berharap ini akan efektif pada awal 2021.
3. Jenis intervensi terbaik apakah yang dapat dilakukan dengan melibatkan penjual obat swasta untuk menginformasikan kebijakan AMR di tingkat nasional dan internasional?
Pemberian antibiotik Over The Counter (OTC) seharusnya dilarang secara bertahap dikarenakan adanya regulasi. Hal ini dapat dilakukan melalui penegakan hukum, penguatan kesadaran dan pemahaman AMR melalui pendidikan, serta pemantauan ketat dan koordinasi oleh Kementerian Kesehatan di tingkat kabupaten.
4. Menurut Anda, bagaimana pandemi COVID-19 akan mempengaruhi upaya penanganan AMR di Indonesia dan negara lainnya?
Kasus COVID-19 memiliki banyak varian klinis yang diragukan (infeksi virus vs. bakteri). Dokter cenderung memberikan antibiotik empiris untuk alasan keamanan, meskipun infeksi bakteri hanya mewakili sekitar 10% dari kasus COVID-19. Sekilas data di bangsal COVID-19 RSUD Dr. Soetomo (Juni 2020) menunjukkan penggunaan antibiotik pada 70% kasus sedang dan 100% pada pasien ICU. Antibiotik akan diresepkan berdasarkan terjadinya abnormalitas dari satu atau lebih WBC, CRP, PCT, CXR, demam atau intervensi perangkat medis (misalnya ventilator).